Peningkatan Sensor Internet di China Kebebasan Berekspresi Kian Terbatas

Selama beberapa dekade terakhir, Tiongkok telah membangun sistem slot qris sensor internet yang paling canggih dan ekstensif di dunia. Dikenal secara global sebagai “The Great Firewall”, sistem ini bertujuan untuk mengontrol aliran informasi di dunia maya yang dikonsumsi oleh sekitar 1,1 miliar pengguna internet di negara tersebut. Namun dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Tiongkok semakin memperketat pengawasan digital, membatasi akses terhadap platform asing, menindak konten yang dianggap tidak sesuai, dan memperkuat pengawasan terhadap pengguna. Peningkatan sensor ini membawa implikasi besar terhadap kebebasan berekspresi, privasi, serta hak asasi manusia.

Evolusi Pengawasan Digital

Sensor internet di Tiongkok bukanlah hal baru. Sejak awal 2000-an, pemerintah telah menerapkan kebijakan untuk memblokir situs web asing seperti Google, Facebook, Twitter, dan YouTube. Namun belakangan ini, pendekatan pemerintah berubah dari sekadar memblokir ke strategi yang lebih aktif: mengontrol narasi dan membentuk opini publik melalui sensor algoritma, kampanye disinformasi, serta penyebaran propaganda digital.

Platform lokal seperti WeChat, Weibo, dan Douyin (versi domestik TikTok) dipantau secara ketat. Perusahaan teknologi Tiongkok diwajibkan bekerja sama dengan otoritas negara dalam menyaring konten, menyimpan data pengguna, dan menyerahkan informasi apabila diminta. Ini membuat perusahaan swasta tidak hanya sebagai penyedia layanan, tetapi juga sebagai alat pengawasan negara.

Kebijakan Baru yang Lebih Ketat

Beberapa kebijakan baru telah diberlakukan yang semakin mempersempit ruang kebebasan berekspresi. Misalnya:

  1. UU Keamanan Siber (Cybersecurity Law) tahun 2017, yang mewajibkan perusahaan untuk menyimpan data pengguna di dalam negeri dan tunduk pada pengawasan ketat.
  2. UU Data Pribadi (Personal Information Protection Law), yang meskipun secara teori melindungi privasi, tetap memberikan celah luas bagi pemerintah untuk mengakses data atas nama “keamanan nasional”.
  3. Aturan Moderasi Konten, yang menetapkan bahwa semua konten yang dipublikasikan di internet harus sesuai dengan nilai-nilai “sosialis” dan “kepentingan nasional”.

Pada 2023 dan awal 2024, peningkatan terjadi terutama dalam pengawasan terhadap komentar pengguna di forum online, siaran langsung (live streaming), serta sistem kecerdasan buatan seperti chatbot. Pemerintah juga mulai memperketat kontrol terhadap penggunaan VPN (Virtual Private Network) yang sebelumnya menjadi celah untuk mengakses internet bebas.

Dampak terhadap Kebebasan Berekspresi

Dengan meningkatnya pengawasan dan sensor, warga Tiongkok semakin merasa diawasi dalam ruang digital. Banyak aktivis, jurnalis, akademisi, dan pengguna biasa yang menghadapi ancaman pemblokiran akun, intimidasi, atau bahkan penahanan karena unggahan yang dianggap subversif atau “merusak stabilitas sosial.”

Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah penindasan terhadap para netizen yang membagikan informasi tentang penanganan COVID-19, termasuk kematian dokter Li Wenliang, yang pertama kali memperingatkan bahaya virus tersebut. Informasi yang menyebar secara organik dihapus dengan cepat, dan pengguna yang menyuarakan kritik dipantau atau bahkan dihukum.

Selain itu, wacana kritis terhadap pemerintah, isu sensitif seperti Tibet, Xinjiang, Hong Kong, hingga kritik terhadap kebijakan Presiden Xi Jinping disensor secara otomatis. Pengguna internet sering kali melakukan “self-censorship” (sensor diri) untuk menghindari risiko.

Peran Teknologi dalam Sensor

Teknologi kecerdasan buatan (AI) dan big data semakin memperkuat efektivitas sistem sensor. Algoritma dapat secara otomatis mengenali kata-kata kunci, gambar, hingga nada suara dalam video, dan menghapus konten dalam hitungan detik. Sistem ini juga memanfaatkan pengenalan wajah dan pelacakan lokasi untuk memantau perilaku pengguna.

Penggunaan teknologi ini tidak hanya berlaku pada individu, tetapi juga terhadap komunitas digital. Grup-grup diskusi yang membahas isu sensitif dapat dibubarkan secara paksa, dan anggotanya dikenai sanksi. Bahkan sistem pembelajaran mesin dapat memprediksi potensi “kerusuhan digital” dan mengambil tindakan preventif.

Reaksi Publik dan Komunitas Internasional

Meski ruang untuk menyuarakan opini menyempit, sebagian masyarakat Tiongkok tetap berusaha mencari cara untuk menyuarakan pendapat secara kreatif—melalui metafora, permainan kata, atau menggunakan platform luar negeri secara sembunyi-sembunyi. Namun, kemampuan untuk melawan sensor sangat terbatas.

Dari sisi internasional, berbagai lembaga hak asasi manusia seperti Amnesty International dan Human Rights Watch telah mengecam praktik sensor ini. Negara-negara Barat, termasuk AS dan Uni Eropa, juga sering menyuarakan kekhawatiran atas pelanggaran kebebasan berinternet di Tiongkok. Namun, pemerintah Tiongkok menolak tuduhan tersebut dengan dalih “melindungi kedaulatan digital” dan “menjaga stabilitas sosial.”

Penutup

Peningkatan sensor internet di Tiongkok mencerminkan pendekatan otoriter dalam mengelola era digital. Di tengah pesatnya kemajuan teknologi, pemerintah Tiongkok memilih jalur kontrol ketat alih-alih kebebasan informasi. Meski secara domestik hal ini diklaim membawa “stabilitas”, nyatanya kebebasan berekspresi menjadi korban.

Ke depan, tantangan terbesar bagi rakyat Tiongkok adalah menjaga ruang diskusi dan berbagi informasi yang bebas, meski di tengah tekanan. Sementara bagi dunia, pertanyaan yang muncul adalah: apakah internet masa depan akan menjadi ruang bebas global, atau justru terfragmentasi oleh tembok sensor digital seperti yang dibangun Tiongkok?

By admin